Assalamu'alaikum
Kali ini bahasannya perbedaan Subhanallah sama Masya Allah
aja yaa.. Soalnya banyak banget orang-orang yang salah mengartikan kedua
ungkapan ini. Diambil dari web ini http://goresankecildarihati.wordpress.com/2013/01/07/memaknai-perbedaan-ucapan-subhanallah-dan-masya-allah/ :)
Selamat membaca!
-------
Bismillahirrahmaanirrahiim…
Secara umum, menyebut asma Allah dan berdzikir kepada-Nya
ialah kebaikan tertuntunkan. Menyertakan Allah dalam tiap kejadian adalah
niscaya. Dan tiap penyebutan nama Allah yang bermakna khusus tentu memiliki
tempat sesuai tuntunan. Semisal; Istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi
roji’uun) diucap saat kita mengetahui ada saudara kita yang meninggal atau saat
kita bermusibah. (semisal banjir, kebakaran, tanah longsor, kecelakaan, dll).
Nah, bagaimana dengan ucapan “Subhanallah” dan “Masya
Allah”?
Ada 2 yang mengikatnya; tuntunan Qur’an-Sunnah dan kebiasaan
dalam Bahasa Arab. Al-Qur’an menuturkan; Subhanallah digunakan dalam mensucikan
Allah dari hal yang tak pantas. “Maha Suci Allah dari mempunyai anak, dari apa
yang mereka sifatkan, mereka persekutukan, dll.” Ayat-ayat berkomposisi ini
sangatlah banyak.
Juga, Subhanallah digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan
diri dari hal menjijikkan semacam syirik. “Dan (ingatlah) hari (yang di waktu
itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada
malaikat: “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu
menjawab: “Maha Suci Engkau (Subhanaka). Engkaulah pelindung kami, bukan
mereka: bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin
itu”. (QS 34 : 40-41), dihinakannya Allah tersebab kita: Katakanlah: “Inilah
jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah (Subhanallah), dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik.”(QS 12 : 108) dll.
Bukankah ada juga pe-Maha Suci-an Allah dalam hal
menakjubkan? Uniknya, Al-Qur’an menuturnya dengan kata ganti kedua: “(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
Suci Engkau (subhanaka), maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS 3: 191).
Atau kata ganti ketiga yang tak langsung menyebut asma
Allah: “Maha Suci (Allah) (subhana), yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS 17 : 1, dll).
Sedangkan ia juga terpakai pada; me-Maha Suci-kan Allah
dalam menyaksikan bencana dan mengakui kezhaliman diri: “Mereka mengucapkan:
“Maha Suci Rabb kami (subhana), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
zalim.” (QS 68 : 29), menolak fitnah keji yang menimpa saudara: “mengapa kamu
tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah
pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah
dusta yang besar.” (QS 24 : 16).
Bagaimana Hadits-nya?
“Kami apabila berjalan naik membaca takbir, dan apabila
berjalan turun membaca tasbih.” (HR. Imam Bukhari, dari Jabir ra.).
Jadi “Subhanallah” dilekatkan dalam makna “turun”, yang
kemudian sesuai dengan kebiasaan orang dalam Bahasa Arab secara umum; yakni
menggunakannya untuk mengungkapkan keprihatinan atas suatu hal kurang baik di
mana tak pantas Allah Subhanahu wa ta’ala dilekatkan padanya.
Bagaiamana simpulannya?
Dzikir tasbih secara umum adalah utama, sebab ia dzikir
semua makhluq dan tertempat di waktu utama pagi dan petang. Adapun dalam ucapan
sehari-hari, mari membiasakan ia sebagai pe-Maha Suci-an Allah atas hal yang
memang tak pantas bagi keagungan-Nya.
Bagaimana dengan “Masya Allah”?
QS. 18 : 39 memberi contoh: “Dan mengapa kamu tidak
mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Masya Allah, laa quwwata illaa billah
(sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal
harta dan keturunan,” ia diucapkan atas kekaguman pada aneka kebaikan melimpah;
kebun, anak, harta. Sungguh ini semua terjadi atas kehendak Allah; kebun subur
menghijau jelang panen; anak-anak yang ceria menggemaskan, harta yang banyak.
Lengkapnya; “Masya Allah la quwwata illa billah”, kalimat ke-2 menegaskan lagi;
tiada kemampuan mewujudkan selain atas pertolongan Allah.
Pun demikian dalam kebiasaan lisan berbahasa Arab; mereka
mengucapkan “Masya Allah” pada keadaan juga sosok yang kebaikannya mengagumkan.
Simpulannya; “Masya Allah” adalah ungkapan ketakjuban pada
hal-hal yang indah; dan memang hal indah itu dicinta dan dikehendaki oleh
Allah.
Demi ketepatan makna keagungan-Nya dan menghindari
kesalahfahaman; mari biasakan mengucap “Subhanallah” dan “Masya Allah” seperti
seharusnya. Membiasakan bertutur sesuai makna pada bahasa asli Insya Allah
lebih tepat bermakna.
Tercontoh; orang Indonesia bisa senyum gembira padahal
sedang dimaki. Misalnya dengan kalimat; “Allahu yahdik!”. Arti harfiahnya;
“Semoga Allah memberi hidayah padamu!” Bagus bukan? Tetapi untuk diketahui;
makna kiasan dari “Allahu yahdik!” adalah “Dasar gebleg!”
Jadi, mari belajar tanpa henti dan tak usah memaki.
(dirangkum dari kultwit pada linimasa Salim A. Fillah
rahimakallah).
No comments:
Post a Comment